Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Mulut Pejabat & Kebijakan Tidak Pro Rakyat: Dari Kegeraman ke Gelombang Aksi

Jumat | 29 Agustus WIB Last Updated 2025-08-29T16:18:36Z


Awal Mula: Mulut Pejabat yang Tak Terjaga

Demonstrasi yang mengemuka sejak 25 Agustus 2025 merupakan akumulasi rasa kecewa yang lama dipendam publik. Salah satu pemicunya adalah ucapan sebagian pejabat yang dinilai tidak sensitif terhadap beban hidup masyarakat. Saat harga kebutuhan pokok melambung dan kesempatan kerja menyempit, imbauan untuk “berhemat saja” atau ajakan “tidak banyak protes” terdengar meremehkan.

Alih-alih menenangkan, pernyataan seperti itu menambah jarak antara pemerintah dan warga. Mulut pejabat yang tidak terjaga menjadi simbol kelalaian empati, memperlihatkan kegagalan membaca realitas keseharian rakyat kecil.

Kebijakan yang Tidak Pro Rakyat

Di saat kepekaan publik diuji, lahir kebijakan yang mempertebal rasa timpang. Sorotan keras mengarah pada keputusan yang menambah fasilitas pejabat, termasuk skema tunjangan PPh (Pajak Penghasilan) yang meringankan beban pajak pejabat, sementara warga harus membayar PPh penuh tanpa keringanan sepadan.

Ketika PPh untuk rakyat tetap tinggi, namun pejabat mendapat kompensasi yang menutup kewajiban serupa, rasa keadilan publik terguncang. Ini diperparah oleh isu lain seperti perpanjangan praktik outsourcing, kenaikan biaya pendidikan, dan beban pajak properti—semuanya dirasakan menekan kelas menengah dan bawah.

“Kata dapat melukai, tetapi kebijakan dapat menindas. Keduanya, ketika tidak berpihak, menjadi mesin pengganda ketidakadilan.”

Dari Geram ke Aksi Massa

Kegeraman yang awalnya hanya berdenyut di ruang obrolan dan linimasa kemudian menjelma menjadi aksi jalanan sejak 25 Agustus. Ribuan warga—pekerja, mahasiswa, hingga pengemudi ojek online—turun menuntut koreksi kebijakan sekaligus perubahan sikap pejabat. Fokus publik bergeser dari satu peraturan ke pola relasi kekuasaan: penguasa yang hidup nyaman di atas beban yang dipikul rakyat.

Tragedi Affan: Simbol Puncak Kemarahan

Gelombang protes mencapai titik emosional setelah Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang sedang bekerja, tewas dalam insiden dengan kendaraan taktis Brimob pada 28 Agustus 2025. Affan bukan bagian dari demonstrasi, namun kehilangan nyawanya menjadikan tragedi ini simbol paling telak bahwa perlindungan terhadap warga rentan begitu rapuh.

Sejak saat itu, suara protes berubah menjadi tuntutan moral: negara tidak cukup meminta publik bersabar; negara wajib menghadirkan keadilan yang nyata.

Pesan Besar dari Jalanan

  • Mulut pejabat bisa melukai. Ucapan yang sembrono memperdalam luka sosial.
  • Kebijakan timpang mencipta jurang. Tunjangan PPh bagi pejabat saat rakyat membayar penuh menabrak rasa keadilan.
  • Kemarahan publik adalah akumulasi. Ia lahir dari pengalaman panjang diremehkan dan dipinggirkan.

Rakyat menuntut lebih dari sekadar revisi regulasi. Mereka mendesak perubahan sikap dan kepekaan: pejabat harus menjaga kata-kata dan memastikan setiap kebijakan teruji keberpihakannya pada warga, bukan pada kenyamanan kekuasaan.